DPC AWPI Pringsewu Bersama FGD Adakan Membedah UU KUHP Yang Baru 6 Desember 2022.

102
0

Pringsewu,- INFONUSANTARA.co.id– -Hadir dan disahkannya UU KUHP pada 6 Desember 2022 lalu menggantikan UU KUHP lama, masih menyisihkan sejumlah persoalan di mata kalangan insan media.

Hal itu juga, yang mendorong DPC AWPI Pringsewu kemudian membedahnya melalui FGD dengan menghadirkan narasumber
Ketua PP AWPI Hengky Ahmad Jazuli, Dewan Pakar JMSI Provinsi Lampung Herman Batin Mangku, dan Dosen yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Rekonstruksi Hukum dan Perundangan-Undangan UBL Rifandi Ritonga.

FGD yang digelar di kantor DPC AWPI Pringsewu dibuka oleh Sekretaris Kominfo Eko Kusmiran, dan dihadiri oleh para ketua lembaga profesi wartawan dan juga perwakilan mahasiswa yang ada di Kabupaten Pringsewu, Kamis (22/12/2022).

Dalam pemaparan materinya, Rifandi Ritonga tidak menampik adanya beberapa klausul pasal yang termuat di KUHP Era Baru yang berpotensi bersinggungan dengan kerja-kerja jurnalis dalam memproduksi karya jurnalistik.

Hal itu, lanjut dia, seperti tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden di dalam Pasal 217, 218 dan 219.

“Presiden itu bukan simbol negara, karena negara kita tidak menganut sistem kerajaan, namun sistem demokrasi. Sehingga, harus dilihat dulu kedepannya, objek yang “ditulis” itu dalam kapasitas sebagai apa” jelas Rifandi.

Menurut Rifandi, media sebagai fungsinya sebagai pilar ke empat demokrasi, maka sepatutnya juga, harus membekali diri dengan membaca peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

“Karena wartawan itu tidak kebal hukum, walaupun mereka bekerja dan dipayungi oleh UU Lex Spesialis yakni UU Pers nomor 40 Tahun 1999,” sebut dia.

Berbeda dengan yang disampaikan oleh Herman Batin Mangku, ia justru berpendapat bahwa ada upaya membelenggu kerja-kerja pers dengan hadirnya UU KUHP Era Baru ini.

“Hadirnya KUHP baru ini justru sebuah kemunduran dari kemerdekaan pers yang sudah dijamin oleh negara melalui UU Pers. Saya khawatir ke depan dalam memproduksi karya jurnalistik karena itu bersinggungan dengan pejabat publik atau yang lainnya, wartawan dapat dengan mudah dipidanakan (kriminalisasi) melalui UU yang ada,” kata Herman.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Hengki Ahmad Jazuli, yang menilai UU KUHP Era Baru beberapa pasal didalamnya berpotensi mengkriminalisasi pers.

“Kembalikan kerja dan fungsi pers sesuai dengan koridornya yakni UU Pers nomor 40 tahun 1999 dengan berpedoman pada kode etik jurnalistik dalam menilai sebuah karya jurnalistik. Sebab, Kemerdekaan pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis sesuai Pasal 2 UU Pers,” sebut Hengki.

Menurut Hengki, lahirnya UU Pers juga dalam rangka mendorong pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 UUD 1945 bahwa negara menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun tulisan.

“Bahwa kemerdekaan pers untuk mencari dan menyampaikan informasi ini penting sebagai perwujudan dari Hak Asasi Manusia (HAM). Dimana’ setiap orang berhak atas informasi (right to know)”, ucap Hengki.

Hengki mengemukakan bahwa melalui AWPI pihaknya mendorong kepengurusan AWPI di tingkat kabupaten/ kota dan provinsi untuk melakukan kajian-kajian kaitan KUHP Era Baru ini.

“Saya mendorong teman-teman di DPC dan DPD untuk mendiskusikan KUHP yang baru. Dan mendorong dewan pers yang dalam UU 40 tahun 1999, fungsinya menjaga kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain,” pungkasnya.(Yongki)